Sebab, ia tidak disediakan juru tulis oleh pemerintah. Ia juga harus membayar bendi atau dokar lengkap dengan kuda, ditambah biaya memelihara kuda dan kusirnya, harus membeli perabot rumah, lalu mengongkosi rumah tangga.
Belum lagi jika ada asisten residen atau bupati yang datang. Ia harus menginapkannya di penginapan jika rumah sang camat dirasa terlalu jauh atau terlalu jelek.
“Camat mendapatkan kehormatan tertinggi, diperkenankan menyiapkan makan untuk mulut-mulut terkemuka itu. Cerutu, air Belanda, minuman keras, dan makanan cukup mahal, yakinlah, hal itu bagi kepala onderdistrik setingkat mereka merupakan pengeluaran besar,” tulis Kartini.
Bahkan, perkara menangkap penjahat kala itu saja, sang camat mesti merogoh koceknya sendiri. Mereka menggadai perhiasan, menjual perabot. Uang itu tidak diganti pemerintah.
“Apa gerangan yang harus dilakukan para pegawai, yang gajinya tidak cukup dan tidak memiliki orang tua atau keluarga yang membantu mereka? Dan rakyat terus saja memberi hadiah, orang melihat anak istrinya berpakaian compang-camping… Jangan menilai keras, Stella.”
“Saya tahu kesukaran kepala-kepala Bumiputera: saya tahu suka duka rakyat. Dan apa yang akan diperbuat pemerintah sekarang…?“
Source:http://nasional.kompas.com/read/2016/04/21/12150061/Menilik.Pemikiran.Kartini.tentang.Korupsi.?page=2












