BANDUNG,- DPRD Jawa Barat menyoroti persoalan pembangunan Masjid Raya Al Jabbar yang diketahui sebagian dananya menggunakan anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Lembaga legislatif ini meminta Pemprov Jabar mengevaluasi total masjid yang jadi ikonik itu.
Diketahui, pada tahun 2020-2021 lalu Pemprov Jabar mendapat pinjaman dari pemerintah pusat melalui PEN senilai Rp 3,4 triliun. Dana PEN itu kemudian digunakan untuk beberapa kegiatan yang salah satunya adalah pembangunan Masjid Raya Al Jabbar sebesar Rp 207 miliar.
Wakil Ketua DPRD Jabar Ono Surono meminta Pemprov agar mengevaluasi total pembangunan Masjid Al Jabbar apakah benar-benar berdampak pada pemulihan ekonomi masyarakat pasca pandemi COVID-19.
“Saat bicara pembangunan Masjid Al Jabbar, apakah pembangunan itu sudah masuk RPJMD, sudah masuk rencana kerja dinas, bener nggak pembangunan Al Jabbar itu bisa memulihkan ekonomi karena dana itu didapatkan dari dana PEN,” tegas Ono saat dihubungi, Rabu (5/2/2025).
Menurut Ono, evaluasi harus dilakukan soal rencana pembangunan pemerintah agar ke depan, tidak ada lagi program pembangunan yang justru tidak berkaitan langsung dengan permasalahan dasar masyarakat Jawa Barat.
“Biar pemerintah benar-benar menjalankan prioritas programnya yang berkaitan dengan permasalahan rakyat yang mendasar, pendidikan, kesehatan, dan ekonomi,” ujarnya.
Ono juga menyinggung soal biaya pemeliharaan Masjid Raya Al Jabbar yang membutuhkan dana Rp 42 miliar per tahun. Hal itu kata dia sangat membebani APBD Jawa Barat.
“Soal pembiayaan pemeliharaan Rp 42 miliar. Ini kan sangat membebani APBD yang di sisi lain kita harus fokus ke prioritas pembangunan infrastruktur, ruang kelas baru, masalah pangan dan lain sebagainnya,” katanya.
Ono juga mengkritisi Gubernur Jabar sebelumnya Ridwan Kamil yang dianggapnya tak mampu membuat sistem pengelolaan dan pemeliharaan Masjid Al Jabbar dengan baik.
Karenanya, Ono mengusulkan masjid tersebut ke depan untuk dikelola oleh Badan Layanan Umum Daerah (BLUD).
“Ke depan menurut saya, Al Jabbar di BLUD saja. Biar mereka secara mandiri mengelola Al Jabbar sebagai tempat ibadah, sebagai wisata religi dan bisa membangkitkan UMKM di wilayah sekitarnya. Jangan lagi membebankan APBD,” ucap Ono.
“Catatan saya bahwa pemerintahan Ridwan Kamil itu hanya mampu membangun bangunan yang ikonik, yang megah, yang wah tapi belum sampai pada wilayah bagaimana pemeliharaan, bagaimana pengelolaan,” sambungnya.
Lebih lanjut, Ono menyebut, utang PEN yang harus dibayar Pemprov Jabar sebesar Rp 500 miliar per tahun mau tidak mau jadi tanggung jawab Dedi Mulyadi sebagai gubernur selanjutnya.
“Ya memang itu fakta yang jadi tanggung jawab pemerintahan Dedi Mulyadi. Sehingga kalau setiap tahun kita Rp 500 miliar membayar cicilan yang selesainya 2029, itu jadi konsekuensi yang harus diterima,” katanya.
Ono juga mewanti-wanti agar tidak ada lagi pembangunan yang tidak mengutamakan kepentingan rakyat.
Menurutnya, tidak adil jika APBD digunakan hanya untuk membangun bangunan yang tidak menyelesaikan masalah di masyarakat.
“Tidak fair juga bagi rakyat jika APBD terus menerus dialokasikan ke Al Jabbar dan bangunan lain yang ikonik itu. Masih banyak rutilahu yang belum terurus, jalan yang masih rusak, sekolah yang butuh ruang kelas baru,” jelasnya.
“Jangan ada lagi pembangunan alun-alun, tugu atau bangunan yang megah tapi tidak berefek kepada permasalahan dasar rakyat tadi,” tandasnya.