
Proses pemeriksaan pasien yang diduga atau terjangkit virus corona di Jawa Barat terus meningkat.
Selain fokus pada penanganan pasien, Pemerintah Provinsi Jawa Barat juga berupaya disiplin dalam pengelolaan limbah medis bekas pakai. Salah satunya, Pemprov Jabar telah memerintahkan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang bergerak di bidang jasa pengolahan limbah medis, yakni PT Jasa Sarana, melalui PT Jasa Medivest.
Baru ini sebuah foto yang memperlihatkan sampah medis, seperti Alat Pelindung Diri (APD) sejenis Hazmat (baju pelindung) beredar di sejumlah sosial media dan menjadi perbincangan warganet. Hal itu disebabkan sampah medis berada di Tempat Pembuangan Sampah (TPS) umum.
Menyoroti hal itu, Anggota DPRD provinsi Jawa Barat fraksi PDI Perjuangan, Hj. Iis Turniasih menilai pemerintah pusat maupun daerah kurang peduli dengan penanganan limbah medis yang terkesan asal-asalan. Pemerintah kurang pengawasan terhadap klinik, Puskesmas, dan rumah sakit.
Akibatnya, klinik hingga rumah sakit tersebut membuang limbah medis bekas Covid-19 tanpa dipilah dan diolah terlebih dahulu. Pasalnya, limbah medis bekas penanganan Covid-19 ditemukan dibuang di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di sejumlah kabupaten. Di sana limbah medis bercampur dengan limbah rumah tangga.
“Harusnya rumah sakit, klinik atau Puskesmas itu kerja sama dengan Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) untuk memberikan standar supaya limbah dikelola dengan benar, tetapi terkadang DLHK nya tidak peduli,” ucap Iis saat dihubungi, Kamis (16/07/2020).
Dengan sampah medis yang kala ini juga bercampur dengan sampah rumah tangga mengakibatkan beban TPA bertambah. Hal tersebut dikhawatirkan membahayakan kesehatan warga sekitar, tenaga kebersihan, dan pemulung di kawasan TPA.
Oleh karena itu, ia meminta Pemerintah baik Pusat, Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota untuk mengelola limbah medis secara serius, sesuai aturan yang berlaku.
Dalam Peraturan MenLHK No. P.56/Menlhk-Setjen/2015 tahun 2015 tentang Tata Cara Pengelolaan Limbah B3 dari Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
Pertama, Penanganan limbah infeksius dari fasilitas kesehatan dari penanganan Covid-19 dengan langkah-langkah, yakni melakukan penyimpanan limbah infeksius dalam kemasan yang tertutup paling lama dua hari sejak dihasilkan, mengangkut dan/atau memusnahkan pada pengolahan limbah B3.
Lalu, yang kedua adalah fasilitas incinerator dengan suhu pembakaran minimal 800 derajat celcius, autoclave yang dilengkapi dengan pencacah (shredder), residu hasil pembakaran atau cacahan hasil autoclave dikemas dan dilekati simbol “beracun” dan label limbah B3 yang selanjutnya disimpan di Tempat Penyimpanan Sementara Limbah B3 untuk selanjutnya diserahkan kepada pengelola limbah B3.
Menurut dia, masih banyak Klinik maupun rumah sakit yang tidak bekerja sama dengan pihak ketiga terkait pengolahan limbah tersebut. Dengan demikian, ia minta Pemerintah menyediakan penampungan khusus untuk limbah medis. Sehingga tak tercampur dengan limbah lainnya.
Ia juga minta Pemerintah mengawasi secara ketat rumah sakit, Puskesmas maupun Klinik yang membuang limbah Covid-19 tidak sesuai aturan.
Sebelumnya, Pemprov Jabar melalui PT Jasa Medivest (Jamed) telah meningkatkan kapasitas penanganan limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun) infeksius dari 12 ton per hari menjadi 24 ton per hari mulai April 2020.
Hal itu dilakukan sebagai upaya mengantisipasi lonjakan limbah medis terkait Pandemi Covid-19 di Jabar.
Sumber : https://hasanah.id/anggota-dprd-jabar-iis-turniasih-minta-pemerintah-peduli-terhadap-penanganan-limbah-medis-di-daerah/










