MAJALENGKA,- Sidang lanjutan sengketa keanggotaan partai antara Hamzah Nasyah, caleg PDI Perjuangan untuk Dapil 3 Kabupaten Majalengka dengan DPP PDIP kembali digelar di Pengadilan Negeri Majalengka, Senin, 19 Mei 2025.
Pihak penggugat menghadirkan saksi ahli, yakni Guru Besar Hukum dari UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon, Prof. Sugianto.
Namun alih-alih mendukung Hamzah, keterangan saksi ahli justru menjadi bumerang dan memperkuat argumentasi pihak tergugat.
Saksi ahli menyatakan, pemecatan yang dilakukan PDI Perjuangan sah secara hukum, meskipun prosedurnya tetap harus diuji pengadilan.
“Tadi saksi ahli sudah kami dalami keterangannya. Pertama, menurut saksi ahli, bahwa surat pemecatan terhadap Pak Hamzah itu sah secara hukum. Tapi secara prosedur, pemecatan itu harus diteliti dan diperiksa oleh hakim berdasarkan ketentuan Undang-Undang Partai Politik,” kata Kuasa hukum DPC PDI Perjuangan Majalengka, Indra Sudrajat dalam keterangannya.
Indra menyebut, saksi ahli hanya merujuk pada norma umum dari Undang-Undang Partai Politik, tanpa memperhatikan aturan yang lebih spesifik dalam struktur organisasi partai.
Padahal menurutnya, dalam hukum berlaku asas lex specialis derogat legi generali, ketentuan yang lebih khusus mengesampingkan yang bersifat umum.
“Undang-Undang Partai Politik sifatnya masih umum, belum mengatur secara rinci aturan internal masing-masing partai. Yang lebih khusus itu adalah AD/ART dan peraturan partai. Di situlah letak lex specialis-nya,” ujarnya.
Lebih lanjut ia mencontohkan, penyelesaian sengketa di Mahkamah Partai menurut Undang-Undang Partai Politik memiliki tenggat waktu 60 hari.
Akan tetapi, aturan tersebut tidak menjelaskan definisi tenggat waktu tersebut berdasarkan hari kerja atau kalender.
“Di anggaran dasar dan anggaran rumah tangga PDI Perjuangan pun tidak ada definisi hari kerja atau hari kalender, tapi di peraturan partai itu diatur. Hari itu adalah hari kerja. Itulah yang menjadi lex specialis. Karena tidak berbenturan dengan aturan di atasnya,” jelas Indra.
Selain itu, dalam peraturan internal PDI Perjuangan, pengaduan kepada Mahkamah Partai harus dilakukan langsung anggota yang bersangkutan tanpa melalui kuasa hukum.
Aturan tersebut kata Indra, merupakan ketentuan umum dalam sistem peradilan etik dan internal.
“Seperti di KPU, apabila dilaporkan ke DKPP, tidak bisa menggunakan kuasa hukum, harus datang sendiri. Begitu juga Bawaslu. Itu hukum etik di mana pun,” jelasnya.
Sementara pengaduan Hamzah ke Mahkamah Partai, dilakukan melalui kuasa hukum, sehingga dinilai cacat formil.
Ia juga menegaskan, pemecatan Hamzah dilakukan Komite Etik dan Disiplin partai karena pelanggaran indisipliner berat, bukan Mahkamah Partai.
“Komite Etik dan Disiplin merekomendasikan pemberhentian kepada DPP. Setelah melalui pleno, DPP memutuskan pemberhentian Hamzah Nasyah,” ujar Indra.
Indra juga membantah tuduhan Hamzah yang mengaku tidak diberi kesempatan membela diri.
Menurutnya, Hamzah telah dipanggil Komite Etik dan Disiplin serta diberi waktu tujuh hari untuk membuktikan keterlibatannya dalam mendukung pasangan calon yang diusung partai.
“Pak Hamzah dipanggil dan diberi waktu tujuh hari untuk memberikan bukti bahwa ia bekerja untuk pemenangan Pak Karna dan Pak Koko. Tapi ia tidak membela diri sama sekali. Maka DPP mengambil keputusan memberhentikan,” kata Indra.
Secara keseluruhan, Indra menyatakan, keterangan saksi ahli dalam sidang tersebut tidak merugikan DPP PDI Perjuangan.
Justru sebaliknya, ia menilai hal tersebut memperkuat dasar hukum pemecatan Hamzah Nasyah.
“Pada intinya, saksi ahli yang dihadirkan penggugat justru menguatkan tergugat dalam hal ini PDI Perjuangan, bahwa pemecatan Pak Hamzah itu sah secara hukum. Hanya tinggal prosedur yang harus diuji oleh pengadilan,” pungkasnya.(*)