
Anggota Komisi IV DPR RI Ono Surono menyoroti kenaikan impor gandum yang tahun ini mencapai 11 juta ton.
Hal ini, kata Ono, disebabkan perubahan konsumsi masyarakat terutama anak muda yang hobi makan mie instan.
“Kita ribut soal impor beras yang mencapai 1 juta ton. Tapi impor gandum yang kini mencapai 11 juta ton adem-adem saja. Kenapa gandum meningkat karena ada perubahan pola konsumi di masyarakat terutama anak muda. Sekarang dalam 1 hari tidak semua makan beras, tapi makan mi hingga akhirnya impor gandum melonjak hingga 11 juta ton gandum. Ini tentunya harus kita sikapi juga,” kata Ono dalam rapat kerja (Raker) bersama Menteri Pertanian (Mentan RI) Syahrul Yasin Limpo dan Menteri Kelautan dan Perikanan (Menteri KP RI) Sakti Wahyu Trenggono, Kamis (18/3).
Ono juga menyoroti soal neraca garam yang menurutnya cukup membingungkan.
“Saya masih bingung dengan neraca garam kita. Tadi disampaikan Menko Maritim dan Investasi kebutuhan untuk farmasi 5000 ton, aneka pangan 612 ribu ton, untuk industri 2,4 juta ton, saya hitung totalnya 6 juta ton. Pemerintah kemudian memberikan ijin impor garam 3 juta ton, tapi di sisi lain produksi dalam negeri mencapai 2,1 juta ton sehingga bila ditotal semua 5,1 juta ton. Nah ini neraca seperti apa, kok bisa berlebih seperti itu,” bebernya.
Ia mengungkapkan, Indonesia adalah negara yang memiliki garis pantai di kisaran 84 ribu hingga 120 ribu kilometer
“Anggap saja garis pantai Indonesia adalah 80 ribu kilometer. Daerah pemilihan saya, Kabupaten Indramayu, daerah produsen garam terbesar di Jawa Barat. Bila saya hitung panjang pantai Kabupaten Indamayu mencapai 147 km dan mampu memproduksi garam 37 ribu ton garam setahun dengan asumsi Januari – Mei itu tidak ada produksi karena musim hujan. Sehingga bila kita hitung dengan panjang pantai 80 ribu kilometer, seharusnya kita punya potensi 20 juta ton garam pertahun,” tutur Ketua DPD PDI Perjuangan Jawa Barat ini.
Ono berharap agar Kementerian Kelautan dan Perikanan dapat menggali potensi daerah penghasil garam lain di Indonesia, mengingat daerah produsen garam di Indonesia masih minim.
Terlebih, kata dia, teknlogi produksi garam juga tergolong mudah dan tidak ribet.
“Hanya dengan teknologi sederhana sudah dapat dihasilkan garam putih dengan kandungan nacl yang cukup tinggi. Sehingga tentunya garam juga harus kita sikapi betul. Jangan sampai semua regulasi yang berkaitan dengan importasi apapun pada akhirnya menurunkan produksi, seperti pada tahun 80an dimana Indonesia berhasil swasembada bawang putih. Tapi ketika mulai diotak-atik oleh oknum agar dibuka keran impor, habislah. Garam saat ini harganya cuma harga Rp. 100 perkilo, siapa yang mau jadi petani garam,” tandasnya. (*)