
Ketua Komisi I DPRD Jawa Barat Bedi Budiman prihatin dengan Indeks Kerukunan Umat Beragama di Provinsi Jabar mencapai urutan 3 dari bawah.
Dalam survei untuk kerukunan umat beragama yang dilakukan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Bimbingan Masyarakat Agama dan Layanan Keagamaan pada Badan Penelitian dan Pengembangan dan Pendidikan dan Pelatihan (Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat) Kemenag akhir 2020 lalu, Jawa Barat berada diatas Sumatera Barat dan Aceh dengan skor 68,5.
“Merujuk pada angka kerukunan umat beragama nasional 73,83, terdapat sejumlah provinsi yang berada di bawah rata-rata nasional, termasuk Jawa Barat. Hal ini menunjukkan bahwa Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil kurang perhatian pada masalah ini. Padahal masalah toleransi adalah faktor fudamen dalam pembangunan,” kata politisi PDI Perjuangan ini dalam keterangannya, Minggu (7/2).
Bedi memandang Provinsi Jawa Barat sebagai lumbung gerakan ekstrimisme agama. Contoh teraktual, kata Bedi, adalah berdirinya Pasar Muamalah yang menggunakan dinar dan dirham sebagai alat tukar yang identik dengan salah satu agama.
“Agar tak menimbulkan kontroversi baiknya gunakan alat tukar resmi di Indonesia yakni rupiah. Memang niat baik untuk menegakkan syariah juga perlu dihargai selama pelaksanaannya tidak menyalahi peraturan perundang-undangan,” tuturnya.
Ia juga menegaskan bahwa Provinsi Jawa Barat minim insentif kebijakan, program, anggaran soal kerukunan umat beragama. Padahal, menurut Bedi, edukasi soal kerukunan beragama sangat penting untuk meminimalisir paparan radikalisme.
“Virus radikalisme juga harus ditangkal utamanya di kalangan ASN Pemprov Jabar, karena mereka adalah penyelenggara negara yang justru harus menjadi benteng kokoh bagi lestarinya ideologi negara yakni Pancasila.
Saya minta agar Kesbangpol harus lebih diberdayakan lagi,bahkan Badan Diklat ASN Pemprov Jabar BPSDM tidak memiliki muatan wawasan kebangsaan. Komisi I dalam suatu rapat kerja pernah menegur Kepala BPSDM agar muatan wawasan ideologi negara seharusnya menjadi muatan utama dengan disesuaikan tingkatan atau golongannya. Tapi sampai sekarang tidak ada laporannya,” tegasnya.
Bedi mengingatkan bahwa pada masa Presiden Soekarno, Bandung, pada tahun 1955 adalah pusat pergerakan dan persatuan Asia-Afrika (KAA).
Artinya, kata dia, seluruh dunia mengenal ibu kota Jabar ini sebagai pusat penyatuan keragaman untuk tujuan mulia yang tercantum dalam piagam Dasasila Bandung.
“Malu kalau Jabar malah menjadi daerah intoleran. Terlebih dalam evaluasi RPJMD pun tidak memuat secara kongkrit program mengenani hal tersebut,” tandasnya. (*)