“Jika R.A. Kartini tidak memiliki kemampuan literasi, maka tidak akan ada buku ‘Habis Gelap Terbitlah Terang’ yang isinya sudah menginspirasi banyak Kartini-Kartini lintas generasi hingga masa kini” (Puan Maharani – Ketua DPR RI)
Janganlah mengartikan kata ‘literasi’ secara sempit. Definisi literasi secara sempit memang hanya sekedar mempunyai kemampuan seseorang untuk baca dan tulis. Akan tetapi, jika ditinjau dari asal kata Bahasa Latin dan Inggris, literasi bermakna luas, yaitu lebih kepada kemampuan membaca kata dan membaca dunia dengan menggunakan segenap potensi diri dan skill yang dimiliki serta dipelajari di dalam hidup manusia.
“Kemampuan literasi adalah kemampuan mendasar yang dapat menjadi pijakan bagi seseorang untuk menghadirkan kehidupan yang lebih baik bagi dirinya sendiri maupun bagi banyak orang” (Puan Maharani)
Jangan pula melihat kekuatan perempuan hanya dari sisi fisiknya, seperti raut jelita, bibir merekah, dan lekuk tubuh memikat. Jika memang melihat kekuatan diri seorang perempuan dari fisiknya, maka tidak mungkin bisa menjadi seorang perempuan kuat.
Begitu juga jika kekuatan perempuan hanya dinilai dari kehebatannya dalam meniti karier yang umumnya dikuasai kaum lelaki. Jadi, rasanya akan banyak perempuan kecewa karena merasa dianggap lemah sebab sepanjang hidup menekuni keahlian yang mungkin hanya dipandang sebelah mata.
Menilai kekuatan wanita memang suatu hal yang unik, tidak bisa fisik saja atau kecerdasannya saja. Lalu, di mana kekuatan perempuan itu dinilai?
Berdasarkan penelitian secara keilmuan, otak kaum perempuan mengandung lebih banyak Protein Bahasa dibandingkan pria. Para ilmuwan mendefinisikan protein foxp2 yang khas sebagai protein yang berperan dalam mempengaruhi kebiasaan berbicara perempuan.
Inilah yang membuat perempuan lebih banyak berkata-kata, lebih banyak ngoceh, baik secara lisan maupun tulisan, karena memang sudah menjadi kebutuhannya. Jika kebutuhan ini tak dipenuhi malah dapat menyebabkan perempuan menjadi depresi.
Kebutuhan perempuan untuk berbicara, mengeluarkan isi hati dan pikiran lewat verbal bagaikan sisi mata uang yang bersatu pada diri perempuan. Pada satu sisi menjadi kekuatan, sementara di sisi lain menjadi kelemahan.
Dahsyatnya Kekuatan Kata Seorang Perempuan
Pada seorang perempuan, jika kemampuan verbalnya berjalan seiring dengan kesadaran berliterasi, maka ini akan menjadi sebuah kekuatan yang dahsyat.
Sebaliknya, jika tingkat literasi perempuan rendah, maka yang keluar dari mulutnya hanyalah hal-hal yang tidak bermutu. Inilah yang dapat dikategorikan sebagai perempuan lemah.
Wanita lemah hanya mempunyai kemampuan untuk mengeluarkan kata-kata atau kalimat yang bermakna keluh kesah, kesedihan, dan kemalangan, tanpa bisa memikirkan apa yang bisa aku perankan untuk dunia ini.
Bisa dibayangkan sekarang, jika perempuan yang secara natural berbicara lebih banyak dari laki-laki tidak dibekali dengan literasi yang cukup? Apalagi di era digital seperti sekarang ini, semua informasi dapat menyebar cepat melalui media digital. Akan mengerikan tentunya!
Sekarang ini lebih banyak kata-kata perempuan yang beredar dalam status atau caption media sosial sehingga perempuan tanpa melek literasi bisa merusak dirinya sendiri dan tentunya masyarakat.
Kekuatan perempuan yang secara alamiah memang ada dalam ucapannya justru bisa menjadi bumerang yang siap menikam diri sendiri ketika mengabaikan keberaksaraan.
Dengan demikian literasi digital menjadi penting jika dikaitkan dengan keterampilan teknis dalam mengakses, merangkai, memahami, dan menyebarluaskan informasi melalui media digital.
Rendahnya literasi, akan membuat perempuan cenderung menjadi sosok penyebar berita bohong. Ketidakmampuan membedakan mana berita bohong dan mana yang mencerdaskan termasuk akan membuat perempuan lebih rentan jadi penyebar hoaks.
Informasi tanpa disaring, lalu disebarkan kembali dan ditambah dengan bumbu penyedap. Hal ini karena secara naluriah perempuan memang membutuhkan untuk berbicara lebih banyak, otomatis berkata lebih banyak. Kalau belum sampai 20.000 kata dalam sehari, belum berhenti ngomong dan nulis.
Nah, kekuatan perempuan ini akan terpancar saat berliterasi setiap saat dan setiap hari. Pengaruh dari kemampuan berliterasi perempuan kepada masyarakat bisa signifikan, mengingat perempuan juga banyak berperan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Bisa juga seorang tokoh perempuan yang cerdas tidak pandai dalam berliterasi jika malas belajar dan meningkatkan kemampuan. Literasi yang pada awalnya baik bisa turun ke titik minim. Jadi, bahaya juga bila ada tokoh perempuan dengan pengaruh luas di masyarakat tetapi minim literasi.
Kekuatan perempuan ada di kemampuan literasinya, maka cara untuk mencapai dan mempertahankan kekuatan itu hanyalah dengan belajar. Belajarlah seiring dengan perkembangan zaman agar kemampuan perempuan bisa meningkat dan tidak tertinggal.
Perempuan kuat jika bersatu dan bersatunya perempuan kuat yang berliterasi baik akan menjadi modal untuk mencerdaskan bangsa di era digital.
Sumber: pdiperjuangan.id