BANDUNG,- Anggota Komisi II DPRD Provinsi Jawa Barat Fraksi PDI Perjuangan Yunandar Eka Perwira menilai sejumlah program Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil hanyalah pencitraan semata.
Menurutnya beberapa program unggulan atau prioritas yang selama ini dibanggakan Gubernur Jabar nyatanya tak bisa mendongkrak pendapatan kas daerah, bahkan tak mampu menyerap anggaran.
“Misalnya sektor pariwisata yang disebut Gubernur sebagai prioritas, dari segi ekonomi kondisinya tidak bergerak, tidak terlalu baik. Tidak terlihat seperti apa sesungguhnya strategi yang dilakukan Pemprov untuk menarik wisatawan dan kenaikan wisatawan juga tidak signifikan,” kata anggota Tim Pansus III Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPj) DPRD Jabar ini.
Yunandar membeberkan, masih banyak destinasi wisata di Jawa Barat yang aksesnya sampai sekarang masih sulit, salah satunya Pangandaran.
Perjalanan ke Pangandaran, kata Yunandar, dikeluhkan lantaran perjalanan yang masih terlalu lama. Sehingga, imbuhnya, wisatawan hanya sekali-sekali datang dan tidak berulang. Artinya, ini bukan destinasi wisata yang menguntungkan dalam jangka panjang.
“Di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2019 sendiri yang paling utama adalah membangun aksesibilitas destinasi wisata. Tapi kan yang dilakukan Pemprov Jabar hanya mempercantik alun-alun saja,” cetusnya.
Kemudian, terkait serapan anggaran, Yunandar menyoroti Dinas Pariwisata yang cukup rendah hanya sekitar 81%. Ada serapan besar tapi justru untuk membeli lahan.
Ia merasa heran lantaran ada kegiatan belanja lahan di dinas pariwisata, yang mestinya dilakukan oleh bagian aset.
“Tapi tetap berjalan, dan saya lihat belanja lahan itu hanya untuk menutup agar anggaran yang terserap besar. Tapi tetap saja hanya 81% serapan anggaran dari Rp 200 milyar, sehingga menimbulkan Sisa Lebih Penggunaan Anggaran (SiLPA),” tuturnya.
Selain Dinas Pariwisata, kata Yunandar, Dinas Koperasi Usaha Kecil Menengah (KUKM) yang merupakan mitra Komisi II juga cukup rendah serapannya.
Salah satu penyebabnya adalah karena pengelolaan program One Pesantren One Produk (OPOP) yang dilakukan Dinas KUKM. Nyatanya, kata dia, program OPOP hanya pencitraan belaka.
OPOP, kata dia, hanya berupa kegiatan perlombaan. Menurut Yunandar, manfaat yang diperoleh pesantren itu sebenarnya sangat kecil, bukan bentuknya hibah.
Ia mengatakan, Dinas KUKM kesulitan menyerap karena anggaran untuk OPOP tergolong besar hingga mencapai Rp. 100 milyar.
“Untuk OPOP penyerapannya hanya 80%, sehingga secara akumulasi paling rendah serapannya. Jadi OPOP adalah program baru yang tidak cocok dikerjakan oleh Dinas KUKM, karena itu kan pesantren subjeknya, mestinya biro yansos yang mengelola bukan Dinas KUKM. Apalagi metodenya perlombaan sehingga tak menyerap anggaran besar,” bebernya.
Secara keseluruhan, dari semua dinas hanya 91% penyerapan APBD 2019 sehingga menyisakan SiLPA Rp. 3 trilyun.
Ia mencontohkan, alokasi anggaran Dinas Pendidikan Rp 2 T lebih dan Dinas Kesehatan Rp. 1 T banyak menimbulkan SiLPA.
Selain itu, bantuan keuangan ke daerah yang banyak kembali, seperti misalnya bantuan untuk Kabupaten Tasikmalaya dari Rp. 600 M yang diberikan hanya terserap 30%.
“Ini kinerja anggaran yang kurang baik, karena Rp 3 T itu bukan jumlah yang kecil. Di satu sisi sektor-sektor infrastruktur dan perkenomian membutuhkan anggaraan pembangunan, sementara ini ada dana Rp 3 trilyun yang tak diekseksui,” tegasnya. (nie/*)