
BANDUNG,- Anggota Fraksi PDI Perjuangan DPRD Provinsi Jawa Barat, R Yunandar R Eka Perwira menyoroti rendahnya penyerapan belanja daerah, yakni Belanja Tidak Langsung sebesar 93,65 persen dan Belanja Langsung 85 persen.
Ia juga menyoroti tingginya Sisa Hasil Penggunaan Anggaran (Silpa) sebesar Rp. 3.289.300.91 triliun.
“Setiap tahun begitu terus, tak ada langkah kongkrit untuk menaikan sisa anggaran itu. Jadi memang ini penyakit tahunan, saya dari dulu sudah selalu mengingatkan termasuk di pandangan umum fraksi PDI Perjuangan Silpa ini harus dievaluasi,” kata Yunandar saat dihubungi, Senin (20/7).
Menurut anggota Komisi II ini, soal Silpa ini harus segera dicarikan solusi karena bagaimanapun juga ketika anggaran tak dicairkan maka yang paling rugi adalah masyarakat, karena roda ekonomi tak berputar.
Padahal, kata dia, penyerapan anggaran ini sangat dibutuhkan tetapi justru malah tidak berhasil menggerakan proyek-proyek yang dibiayai, itu kan masalah besar.
“Belanja pemerintah itu kan untuk memutar roda perekonomian selain belanja rumah tangga dan swasta. Jadi ketika anggaran tak berhasil dihabiskan atau dioptimalkan akan berdampak pada sektor-sektor perekonomian,” ungkapnya.

Ia mengatakan, soal Silpa ini pernah sekali dievaluasi, sumbernya adalah bantuan keuangan untuk kab kota yang tidak diserap.
Untuk tahun ini, kata dia, memang lebih sulit karena beberapa pos besar di belanja langsung yang justru tak diserap dengan baik. Ia menyontohkan, pos Dinas Sumber Daya Air dimana ada proyek besar pembangunan situ dan cadangan air yang tak bisa dieksekusi.
“Serapan Dinas Sumber Daya Air sangat rendah sekali,” tuturnya.
Selain itu, sambungnya, Dinas Pendidikan, ada beberapa dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang memang tak diserap dengan alasan berbasis afirmasi dan kinerja.
Ia menambahkan, di Dinas Kesehatan itu juga banyak anggaran yang tak terserap juga. Jadi, menurutnya, tak hanya bersumber dari bantuan keuangan kab kota, belanja dari OPD atau dinasnya juga tak begitu baik.
“Ini yang membuat kita kadang-kadang sulit, karena tiap tahun ternyata berbeda penyebabnya. Harusnya pemerintah harus mengoptimalkan anggaran dan mengurangi silpa,” ujarnya.
Lebih jauh Yunandar menambahkan, untuk anggaran di sektor perekonomian juga tak begitu besar. Untuk sektor pertanian, peternakan perdagangan, pariwisata hanya sekitar Rp. 1 trilyun
“Sehingga ketika serapannya rendah kini semakin diperparah. Anggarannya sedikit, serapannya tak begitu bagus. Ini yang harus Fraksi PDI Perjuangan kritisi untuk anggaran tahun 2019,” kata dia.
Yunandar juga berharap agar pemerintah daerah tidak mengandalkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari pembayaran pajak kendaraan bermotor.
Selama ini, kata dia, pajak kendaraan bermotor menyumbang PAD terbesar, jaman covid sekarang pembayaran pajak menurun dratis, PAD juga menurun.
“Harusnya sumber-sumber lain juga digenjot untuk PAD misalnya aset dan setoran BUMD. Karena aset Jabar banyak dan BUMD juga bukan BUMD baru. Sumber pendapatan ini yang harus dioptimalkan. Harus menjadi perhatian, masak BUMD cuma mampu menyokong PAD Rp. 1,3 m saja, dibanding pajak kendaraan bermotor yang mencapai Rp. 20 trilyun, ini kan timpang,” ujarnya.
Menurutnya, selama ini aset tak dikelola dengan baik, banyak yang disewakan tapi pembayarannya lama dan tak pernah ditagih. Apalagi, kata dia, banyak aset yang tak diproteksi alias tak memiliki sertifikat.
“Ini menunjukkan kinerja badan pengelolaan aset dan keuangan itu tak terlalu baik. Miris, sementara masyarakat diminta melegalkan asetnya, lahan pemerintah sendiri tak punya legalitas,” tandasnya. (nie/*)